smantiga86

Lord of SMANTA Alumni

LEBAR, LEBUR, LABUR, LUBER di POS RONDA – Tulisan Hamdi Buldan

Posted by ridwanaziz pada Oktober 14, 2008

LEBAR, LEBUR, LABUR, LUBER di POS RONDA

Gema Takbir,Tahlil,Tahmid membahana seantero negeri dari mesjid-mesjid besar dan megah di kota-kota sampai pelosok-pelosok desa dari surau ke surau di puncak-puncak gunung dan lembah-lembah. Pawai takbiran diiringi gendang beduk keliling kota dilepas para petinggi Negara. Anak-anak desa keliling kampung pawai obor dengan meriahnya. Suara-suara bocah polos tanpa pengeras suara melantunkan Takbir, Tahlil, Tahmid dengan hikmatnya di kampungku. Inilah hari kemenangan kata banyak orang menyambut datangnya Id-Fitri.
Apa yang menang dan apa pula yang kalah ?, atau siapa yang menang dan siapa pula yang telah kalah?. Apakah kemanusiaan yang menang dan ke’aku’an yang telah kalah?, atau sebaliknya ke’aku’an manusia yang selalu menang dan berkuasa atas kalahlah sudah kemanusiaan ? Penulis terus bertanya sembari membaca, melihat dan ikut merasakan laju gerak kehidupan bangsa saat ini. Sebuah bangsa yang telah beratus-ratus tahun mengenal dan menjalankan Ramadhan tiap tahun, setiap tahun pula merayakan ‘kemenangan’ katanya, kalaulah betul demikian tentu setiap tahun kita dapat menyaksikan dan merasakan kehidupan bangsa yang semakin baik, semakin maju taraf hidup masyarakat mencapai kesejahteraan, keadilan, ketenteraman dan kearifan sebagai manusia. Akankah kita sedang bergerak ke arah lebih baik ataukah kita sedang bersama-sama berlomba membocorkan perahu bangsa dengan kampak ke’aku’an dan ‘menggelari’ diri peraih kemenangan, kemenangan palsu, kemenangan kosong tak bermakna, kemenangan semu, kemenangan kebohongan yang akan menyeret kita tenggelam bersama?
Kejayaan keangkuhan arogansi ke’aku’an dalam bangunan ekonomi kapilatistik yang penuh gairah ambisius, cerdas (cenderung culas) dan rakus akhirnya runtuh sendiri, kandas, bablas angine (pinjam istilah antangin), kita lihat kepanikan dunia menghadapi krisis financial global saat ini dan tidak bisa terhindarkan ikut pula menerpa kita yang memang sudah jatuh sakit menahun terbaring kapan mampu kembali bangkit berdiri? Ya…itulah ketika kita ikut dalam arah terbalik global karena tidak punya kemandirian, tidak dapat memaknai arti membangun kesejatian diri bangsa kembali kepada fitrah kemanusiaan.
Celakalah sudah kehidupan kalau akal sudah menjadi sifat utama, telah hidup dengan men-tuhan-kan akal, jadilah serba akal-akalan tanpa pegangan kebenaran sehingga muncullah mimbar-mimbar Balam di mana-mana, mimbar kebohongan, mimbar teori ruwet memuakkan menyesatkan, mimbar ilmiah kepalsuan, mimbar kepopuleran, mimbar kepentingan dan keserakahan kekuasaan berdalih pembangunan.
Ramadhan yang ditutup dengan gema Takbir, Tahlil, Tahmid tadi berlaku dan berlalu pula secara seremonial belaka. Salam-salaman, silaturrahmi, sembah sujud anak dengan orang tua, berziarah dll telah mewarnai aktifitas lebaran, katanya begitu! Apa makna itu semua sehingga ada istilah arus mudik arus balik segala yang begitu gegap gempita? Akankah itu semua juga telah menjadi seremonial belaka?
Penulis menerima sms dari teman seorang pencabut gigi dari Jakarta, tertulis; ’kepada umat muslim dimohon untuk mendo’akan “bang Toyib”agar lebaran bisa pulang ke rumah berkumpul bersama keluarga’ huahaha…,sms ini penulis kirim ke banyak teman lain, khususnya buat teman penulis yang paling unik karena setiap pindah rumah selalu diikuti berdirinya pos ronda di depan rumah huahahha…huaha.
Kata temen penulis yang selalu diikuti pos ronda tadi ,menguraikan “makna lebaran untuk saat ini hanyalah menghapus segala sesuatu yang menjadi ganjalan antar individu dari rentang waktu lalu sampai saat ini termasuk di dalamnya kaitan hutang piutang, setelah itu dapat diulangi/dibuat kembali timbulnya ganjalan baru lagi huahahaha……”. Dasar temen satu ini sangat cerdas, lugas dan jujur untuk membahasakan dengan sindiran halusnya betapa kita saat ini lebih banyak terjebak dengan seremonial belaka tanpa memahami hal batiniah/ruhaniyah. Inilah gambaran kehidupan syarat warna tanpa makna. Beragama menanggalkan ruhani. Ada salah satu kaidah usul fiqh yang mengatakan,”Al ‘ibrah fil Islam bil jauhar laa bil madzhar”(dasar perjuangan dalam Islam adalah substansinya bukan simbol formalnya).
Hilangnya substansi maka yang ada hanya cangkangnya saja atau simbol-simbol belaka. Kehidupan kapitalistik yang rakus, culas, gairah ambisius berlebihan menuntut kepalsuan-kepalsuan relegius, di mana Tuhan yang sering disebut-sebut justru adalah “Tuhan materialisme”,”Tuhan kekuasaan”,dan bukan Tuhan ALLAH SWT yang sebenarnya. Agama tanpa ALLAH. Gambar buram peradaban kapitalis yang telah memberangus fondasi kesejarahan kemanusiaan yang paling fundamental sebagai tonggak kokoh membangun peradaban dapat kita saksikan akibatnya di mana-mana, di kota-kota besar bangunan-bangunan megah seakan menyundul langit berhimpitan dengan kemiskinan di bantaran sungai, tepi rel, dan bawah kolong jembatan, kerusakan ekosistem lingkungan yang semakin parah, kehilangan daya dukung alam bagi masyarakat pedesaan oleh perombakan fungsi hutan besar-besaran tanpa perhitungan telah memaksa mereka termarginalkan dalam kemiskinan yang semakin parah.
Penulis melamun di atas perahu wisata Putri Kembang Dadar mengarungi sungai Musi menyaksikan masyarakat tepian sungai yang secara visual memprihatinkan. Sungai inilah yang sejak abad ke 7 di masa Sriwijaya pernah ditulis oleh I-ts’hing seorang pendeta Budha yang berlayar dari Tiongkok ke India dan singgah di Sriwijaya (617M) selama 6 bulan. Sungai ini salah satu urat nadi ekonomi besar di perairan Nusantara, pada waktu itu disebut sungai Fo-shih. Begitu juga di masa Majapahit sampai pada masa kita saat ini. Arus komoditi hasil alam, hasil tambang, dan produk-produk industri saat ini diangkut dari dan ke perairan musi keluar masuk lalu lalang sebagai sungai besar yang menjadi muara pertemuan sungai-sungai penyangga dari daerah pedalaman Sumsel. Betapa besar peran dan fungsi sungai ini bagi nilai ekonomi dan kesejarahan yang telah dan terus berlangsung hingga saat ini, sangatlah ironis dengan pemandangan kehidupan masyarakat di tepiannya. Ada apa dengan ini semua ?.

Terpaksa kukenakan kaca mata gelap agar tak nampak oleh anak-anakku melihat mataku nanar kemerahan melihat ketimpangan ini,biarlah sementara mereka ceria menikmati jalan-jalan diatas perahu yang belum pernah dialaminya huahahahahah.Dengan suara perlahan penulis mengingat lagu yang sesekali kunyanyikan tanpa diiringi petikan gitar si Fadil(teman unik lainnya) yang petikan gitarnya terkadang mengalahkan si pengarang lagu he he he.
Jangan didik anak kita penakut.
Jangan ajar anak kita pengecut.
Tolong khabarkan tinjuku untuknya.
Demi kebenaran yang nyata.

Perahu melaju dengan tenang diiringi suara music dangdut perahu yang begitu kerasnya,lagu yang tadi penulis nyanyikan tentu tenggelam sudah.Penulis akhirnya minta diputarkan lagu “bang Toyib”,awak perahu menjawab,’bang Toyib masih di Bengkulu huahahahah…….(hanya temen penulis yang unik satunya lagi yang tahu huahaha).
Dari depan museum Sultan Mahmud Badaruddin dan benteng kuto besak sampai pulau kemarau ditepian sungai Musi juga terlihat beberapa masjid tua masih berdiri,tentunya memiliki nilai kesejarahan yang menarik dikaji begitu pula nilai-nilai kesejarahan yang pernah dibangun dimasa kesultanan Palembang,bahkan kita juga sudah tidak pernah tahu lagi sejarah bagaimana seorang Ariodillah/Ariodamar yang menjadi ‘gubernur’Majapahit di Palembang serta ceritera Raden Fatah (Raja Demak) anak turun Majapahit yang pernah dibesarkan dan dididik di Palembang.

Sampaikah kita pada nilai-nilai sejarah yang sangat berharga yang pernah dibangun oleh orang-orang terdahulu sebagai kekayaan budaya dan peradaban masa lalu? Bagaimana pula dengan Sriwijaya? Bukankah Sriwijaya pada masa itu hakikatnya adalah bagian penting dari keberadaan asia tenggara lama? Sejarah Sriwijaya tentu menyangkut hubungan internasional karna letaknya sebagai rute pelayaran yang berinteraksi dengan pelayaran dari jawa,India,Arab,Tiongkok.Dengan sendirinya tentu sejarah Sriwijaya berhubungan dengan sejarah Negara-negara lain yang menggunakan selat malaka sebagai jalur lalu lintas dunia,karna itu menjadi sangat menarik bagi sejarawan nasional dan dunia untuk menggali lebih lanjut gambaran peradaban masa lalu di Palembang yang punya andil besar mewarnai gerak peradaban nusantara dimasa lalu.Pertanyaan besar dari penulis,akan dibawa kemana konsep visit musi? Apa pula ikon yang akan ditampilkan sebagai daya tarik wisatawan? Tidaklah ada artinya pertanyaan seorang penulis gembel bagi para pengambil keputusan.
Perahu telah merapat ditepian sungai tanda usai sudah jalan-jalan diatas sungai besar Musi dengan iringan lagu dangdut.Trimks..pak,kata penulis kepada juru mudi perahu,rasanya sama saja dengan naik komedi putar di pasar malam atau taman ria sriwijaya tempat dimana penulis biasa markir 24 tahun yang lalu huahahaha……
Slamat hari raya id-fitri 1429H,smoga kita semua diberi kekuatan,sehat lahir batin,panjang umur usia yang bermanfaat.Marilah saling memaafkan dengan BERLEBARAN,BERLEBURAN segala kesalahan,BERLABURAN bersih hati kita dan BERLUBERAN dengan keberkahan….menggapai kehidupan bangsa yang mandiri,maju,sejahtera lahir batin,aman,adil makmur dalam Redho’ ALLAH SWT,Ya…ALLAH,berilah pemimpin kami pengetahuan dengan cahayaMu agar timbul suluh pencerahan keberanian menuju perubahan(jihad)peradaban yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan,amin..amin..amin.
Kutulis duduk sendiri jaga pos ronda,yang lain keliling kampung huahahah..
Yogyakarta,waktu gak bawa jam he he he

Hamdi Buldan.
(penulis gembel di pos ronda)

3 Tanggapan to “LEBAR, LEBUR, LABUR, LUBER di POS RONDA – Tulisan Hamdi Buldan”

  1. BuKa said

    Berpisah dengan Ramadhan memang tidak dapat dibandingkan dengan perpisahan yang lain. Berpisah dengan Ramadhan adalah perpisahan dengan suasana ruhani yang sangat kental dan menguatkan iman. Itulah yang membuat airmata harus menetes. Menetes bukan karena kesedihan murahan, yang datang dari sentuhan emosional belaka. Melainkan menetes kerena kesedihan yang memancar dari gelora iman. Menetes karena takut bila setelah Ramadhan suasana keimanan itu melemah kembali tergerogoti dosa-dosa. Takut kalau lidah kita ini berat kembali bertasbih dan membaca Al Qur’an. Takut kalau malam-malam kita kembali diwarnai tawa dan hiburan yang melalaikan(maen gaple). Takut kalau hati ini kembali keras dan sulit menerima sentuhan ayat-ayat Al Qur’an(kecuali wiro sableng & ko ping ho). Karena itu kita berdoa, semoga kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan di tahun yang akan datang(dak tau kalo bang toyib)……seklebat bayangan putih di pucuk pohon macang…

  2. Fadil said

    “…khususnya buat teman penulis yang paling unik karena setiap pindah rumah selalu diikuti berdirinya pos ronda di depan rumah huahahha…huaha.”

    Nang, ha..ha..ha..ha… Nang …ha… ha…ha.. hua ha…ha.ha…ha…

  3. joni getamala said

    Buat ridwan: tolong di resensi tulisan ini, masukan buat si penulis krn kalo kito baco caknyo bikin kito bingung, sejarawan apo kontraktor,.he,.he,.he ato sastrawan (di pos ronda),.yang paling mengingatkan kito dgn sosok penulis ketika,…”Terpaksa kukenakan kaca mata gelap agar tak nampak oleh anak-anakku melihat mataku nanar kemerahan melihat ketimpangan ini”,…nah ketika mengenakan kacamata itu,.ku kiro lagunyo bukan bang thoyib tapi,..NURHAYATI,..ha,,ha,,ha,,nang,,ha,,haa,,ha

Tinggalkan komentar