smantiga86

Lord of SMANTA Alumni

Tahun Ajaran Baru: Mata Pelajaran Pertama Bagi Kita dan Anak-Anak Kita…

Posted by ridwanaziz pada Juli 29, 2008

Minggu-minggu terakhir, kebanyakan orang tua disibukkan dengan proses pendaftaran anak-anak mereka di berbagai jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar (SD), tingkat menengah (SMP and SMU) serta tingkat tinggi (Universitas/Institut/Politeknik).

 

Yakinlah kita, bahwa hampir semua dari orangtua tersebut menginginkan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka dengan harapan kelak memiliki keahlian dan dasar sikap yang kompetitif agar mampu bersaing guna mencari (atau bahkan membuat) lapangan kerja.

 

Satu hal lagi yang menjadi harapan hakiki dari orang tua adalah agar anak-anak mereka kelak menjadi orang-orang yang shalih dan shalihah, lawan kata dari “orang yang membuat kerusakan dan kerugian bagi orang-orang lain dan ekosistem di luar dirinya”.

 

Suatu malam hampir di tengahnya, seraya menikmati penganan kecil di depan telivisi selepas hari kerja, saya membaca beberapa coretan-coretan kecil rekan-rekan orangtua yang sampai ke akun email pribadi saya tentang maraknya orang tua yang menjanjikan ataupun memberikan uang tanda terima kasih atas diterimanya anak-anak mereka masuk sekolah-sekolah favorit.

 

Pikiranku melayang ke 5 tahun silam, di sebuah sore ketika saya dan istri mendiskusikan tempat sekolah yang baik dan terjangkau bagi anak pertama kami. “Ada sekolah SD Negeri favorit, Pa tidak jauh dari tempat tinggal kita, banyak sekali peminatnya,” ujar istriku.

 

“Wah hebat, apa sebabnya dia bisa menjadi favorit, apa keunikannya ?”, selidikku dengan serius.

“Iya, katanya guru-gurunya sangat kompeten dan juga pendidikan keagamaan di kelola dengan baik sehingga anak-anak tidak hanya cakap dan pandai, namun menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Jam belajarnya pun lebih intensif dan banyak”, lanjut istriku sembari menghidangkan secangkir kopi panas tidak terlalu manis kegemaranku. “Namun yang daftar banyak hampir 4-5 kali lipat dari daya tampungnya, Pa. Kayaknya akan ada ujian tertulis yang cukup ketat, aku khawatir anak kita bisa jadi tidak lulus..”, kesah istriku sembari menarik kursi mendekatiku.

 

Aku menyeruput kopi yang menghangat,”Yakin ajalah Ma dengan kemampuan anak kita, kalau dia lulus ujian itu, Alhamdulillah. Kalau nggak, ya Alhamdulillah juga. Kan kita bisa cari sekolah lain yang dia bisa lulus ujian masuknya.”

 

“Nah Pa di situlah masalahnya yang membuatku khawatir. Aku takutnya kalau anak kita tersingkir dan tergeser karena ada anak-anak lain yang lebih diutamakan karena orangtuanya menitipkan kepada oknum-oknum. Denger-denger sih…kita bisa minta anak kita diutamakan Pa, mungkin harus pakai uang titipan. Gimana menurut Papa…Aku sih tidak mau anak kita tersingkir secara tidak sehat, tapi aku juga pantang melakukan “titipan”. Itukan cita-cita kita untuk selalu berlaku jujur…

 

Aku rangkul bahunya,”Benar Ma, sudahlah tidak usah khawatir. Berserah diri kepada Allah. Kita kan ingin anak-anak kita menjadi anak-anak yang shalihah kelak, oleh karena itu kita ingin menyekolahkannya di sekolah-sekolah yang favorit itu. Tapi kalau dari awal, keinginan itu kita nodai dengan “ketidakjujuran”, malu kita sama Allah Ma!”.

 

“Iya ya Pa, Pasti Allah bilang kita nggak serius…”, ujar istriku.

“Yang penting jujur Ma…asal anak kita bisa baca tulis dan jujur, cukuplah bagi kita. Kalau kita ingin anak kita jadi orang yang jujur, mari kita nafkahi dan biayai dengan mata uang kejujuran”, seruku menuntaskan percakapan kami sore itu. Begitu bersyukur aku mendapatkan pendamping seperti istriku.

 

Kejujuran: Mata Uang Yang Berlaku Universal dan Tidak Pernah Terdepresiasi Nilainya.

 

Kejujuran adalah mata uang yang paling berharga. Pernyataan yang menggugah hati ini pertama kali aku dengarkan dari salah seorang rekan di Komite Sekolah SDN Sukasari 4 Tangerang, Jaya Avianto. Aku banyak belajar dari beliau, yang sepantasnya memang menjadi “kakak” bagi kami-kami yang lebih muda dari beliau.

 

Beliau ungkap itu pada saat acara perpisahan siswa-siswi kelas 6 tahun ajaran yang baru lalu, yang lulus ke sekolah lanjutan. “Anak-anak, pakailah selalu mata uang kejujuran. Kalian bisa belanjakan itu di mana saja, di seluruh dunia…”, tegas Beliau saat itu.

 

Kejujuran memang suatu kata benda abstrak yang tidak pernah kita pungkiri adalah dasar sikap dari tindakan-tindakan yang kita cita-citakan bagi kita, anak-anak dan cucu-cucu kita kelak. Saya hampir yakin bahwa hampir tidak ada sanggahan untuk ini. Kalaupun kita bertanya kepada seorang koruptor ulung yang belum tertangkap sekalipun tentang apa harapannya kepada anak cucu-nya tentulah dia tanpa rasa sungkan akan mengatakan bahwa ia ingin anak cucunya kelak menjadi orang-orang yang jujur, orang-orang yang baik.

 

Sangat naif, ketika kita ingin membangun istana kokoh di atas gundukan pasir kebohongan dan ketidakjujuran. Kita harus tetap teguh hati bahwa kebajikan masa depan kita hanyalah bisa dibangun dari sari pati kejujuran.

 

Terbetik juga beberapa kabar dari rekan-rekan guru di SD negeri anakku bersekolah bahwa nilai-nilai hasil ujian nasional tingkat SD yang berhasil dicapai oleh murid-muridnya sudah bagus tahun ini, namun ternyata masih banyak anak-anak murid dari sekolah lain yang nilanya lebih baik, nyaris sempurna dan maksimal.

 

Rekan-rekan guru mengatakan bahwa itulah hasil dari anak-anak kita, tanpa direkayasa, tanpa dibantu. Ah bagiku cukuplah pernyataan itu, tidaklah perlu ditarik lebih jauh bahwa anak-anak murid dari sekolah lainnya ditenggarai melakukan kecurangan. Kita tidak tahu dan seyogyanyalah bukan menjadi tempat kita mencurahkan energi untuk menduga-duga. Tidak, jangan tergoda untuk memiliki pikiran seperti itu.

 

Bagi kita cukuplah mempertanggungjawabkan amanah yang ada di tangan kita. Nilai ujian bukanlah segala sesuatunya. Tidaklah masa depan anak-anak kita ditentukan oleh nilai-nilai mata pelajarannya.

 

Biarlah mereka menjadi nomor empat, lima atau enam belas sekalipun namun tetap menjadi orang yang jujur dan tidak curang.

 

Tahun depan, di ujian nasional yang sama, mari kita kembali berlaku jujur, biarkan anak-anak kita meraih masa depannya dengan gemilan, membawa warisan mata uang kejujuran dari kita semua. Saya yakin, barisan orangtua yang mengedapankan warisan kejujuran bagi anaknya makin panjang di belakang rekan-rekan guru yang mulia.

 

Ibu Bapak guru di SD negeri tempat anakku bersekolah, yuk berhenti bersedih, kitalah pemenangnya!

2 Tanggapan to “Tahun Ajaran Baru: Mata Pelajaran Pertama Bagi Kita dan Anak-Anak Kita…”

  1. Fadil said

    Mantaap Wan.. ! dari yg sedikitnyo aku tau.. kejujuran (“idak ngotai”) idak laen adalah energy yang “kuat”, yang pacak membawa perubahan mendasar pada diri seseorang. Banyak nian hal, yang buat orang dak biso berlaku jujur secara konsisten….kito harus berdo’a buat kito agar selalu biso “jujur”. Khalayaknya, kejujuran membutuhke konsistensi dan keberanian, kalu dak cak itu, energy kejujuran biso2 hanya menghasilke “follower” bae. Dan keberanian jugo muncul biasonyo kalu kito lah ngalahke rasa takut.

  2. Ridwan Aziz said

    Dil, la dapet belum login dan account update dari wordpress ?
    Mestinyo la ke emailmu dikirim oleh wordpress.

Tinggalkan Balasan ke Fadil Batalkan balasan